FGD Flight Connectivity Lombok (foto/istimewa) |
Mataram (Kilasntb.com) - MotoGP Mandalika akan digeber 27-29 September 2024. Namun berbagai masalah masih menghadang. Apa saja itu?
Ketua BPPD NTB, Sahlan M. Saleh, memaparkan dengan lengkap beserta solusinya saat tampil sebagai pembicara Flight Conectiviy Lombok di Aula Bank NTB Syariah, Rabu (17/07).
Masalah masalah yang dihadapi di antaranya konektivitas udara. Penerbangan langsung domestik ke Lombok terbatas, dengan harga tiket pesawat yang tinggi. Kepastian penerbangan tambahan masih belum ada. Tidak hanya itu, penerbangan internasional langsung juga terbatas.
Konektivitas laut juga demikian. Jarak dari Denpasar ke Padangbai cukup jauh untuk naik Fast Boat. Pelabuhan jauh dari Sirkuit Mandalika. Biaya tambahan dari pelabuhan ke sirkuit dan transportasi dari pelabuhan terbatas.
Bagaimana dengan konektivitas darat? Sahlan menjelaskan antrian di Pelabuhan Ferry lama. Waktu penyeberangan 4-5 jam. Akomodasi juga masih menjadi masalah. Harga akomodasi naik 4-10 kali lipat. Minimum stay 3 malam dan di beberapa kawasan tertentu 5 malam Jumlah kamar tidak seimbang dengan jumlah penonton dari luar NTB. Pergub yang memberi kelonggaran menaikkan harga 1-3 kali lipat tanpa sanksi.
Masih menurut ketua BPPD, transportasi lokal jadi sandungan. Kenaikan tarif cukup.signifikan, kendaraan terbatas, Kendaraan premium/VIP pun sangat terbatas.
"Standar kendaraan untuk pariwisata belum memadai, " sentilnya.
Sahlan juga menyoroti soal destinasi yang belum siap menyambut MotoGP Mandalika. Tidak ada tambahan atraksi di destinasi saat event. SDM dalam destinasi perlu ditingkatkan. Pokdarwis dan desa sebagian tidak aktif dalam destinasi.
Bagaimana dengan promosi? Promosi target market penonton fanatik MotoGP di Eropa belum optimal. Juga belum ada kepastian harga tiket MotoGP mendekati waktu penyelenggaraan. Kurangnya promosi di kantong-kantong penonton domestik potensial. Destinasi yang dijual kurang inovasi.
Setelah memaparkan masalah-masalah yang dihadapi jelang even MotoGP, Ketua BPPD menawarkan beberapa solusi.
Untuk konektivitas misalnya ia menyarankan perbanyak penerbangan langsung domestik dan internasional. Membuka penerbangan tambahan saat MotoGP. Menyediakan tiket dengan harga mulai dari kelas rendah. "Perlu juga siapkan transportasi memadai dari pelabuhan ke sirkuit," sarannya. Terkait akomodasi? Sahkan m menyarankan ada regulasi yang mengatur batas harga dari pemerintah. Menghapus batasan minimum stay yang panjang. Pelatihan homestay agar sesuai standar hotel. Pembangunan hotel baru di kawasan Mandalika. "Satgas pengendali dan penerima keluhan akomodasi," katanya.
Untuk transportasi lokal lanjutnya, memanfaatkan kendaraan di wilayah NTB (Pulau Sumbawa). Kerjasama dengan pengusaha kendaraan premium/VIP di luar Lombok (Bali, Jawa).
"Pelatihan peningkatan SDM bagi pengemudi agar sesuai standar pariwisata juga sangat perlu, " ucapnya.
Destinasi juga berbenah untuk menerima tamu dalam jumlah besar (kebersihan dan toilet). Menambah atraksi di setiap destinasi agar lebih menarik. "Peran aktif desa dan Pokdarwis sebagai bagian penting destinasi, " urainya.
Sedangkan mengenai promosi MotoGP menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya MGPA atau ITDC. Langkah promosi itu di antaranya aktif mengikuti sales mission di berbagai negara Eropa untuk mengenalkan MotoGP Mandalika. Aktif dalam kegiatan promosi internasional dan domestik sesuai target market. Pemesanan tiket MotoGP tersedia satu tahun sebelumnya. Membangun citra destinasi Lombok dan Sumbawa yang menarik.
Dengan menyelesaikan berbagai masalah ini, diharapkan penyelenggaraan MotoGP Mandalika akan sukses dan membawa dampak positif bagi pariwisata NTB.
Di tempat yang sama Ketua PHRI NTB, Ketut Wolini, menyatakan kesiapan industri perhotelan untuk menyambut ajang MotoGP. Kenaikan harga hotel yang sempat terjadi menurutnya akibat lonjakan permintaan selama event MotoGP.
Tarif hotel diatur dalam Pergub Nomor 9 Tahun 2022. Regulasi itu mengatur hotel di zona 1 boleh menaikkan harga hingga tiga kali lipat, zona 2 dua kali lipat, dan zona penyangga satu kali lipat dari harga normal.
PHRI mengharapkan revisi pada Pergub tersebut untuk mencakup aturan yang lebih jelas mengenai harga travel dan peran broker. "Terus terang kami tidak dilibatkan dalam pembuatan Pergub," kata pengusaha perhotelan itu.
Sedangkan Junaidi Kasum dari DPD Organda menyoroti soal kenaikan harga tiket pesawat dan mempertanyakan pihak yang bertanggung jawab. Harga tiket yang tinggi membuat orang malas datang ke Lombok. "Siapa yang bertanggung jawab," katanya. (red)