![]() |
| (Gambar/Kilas NTB) |
Kilas NTB, Menjadi istri kedua bukan sekadar status dalam sebuah pernikahan. Ia adalah perjalanan batin yang rumit, penuh persimpangan antara keyakinan, cinta, pengorbanan, dan pandangan sosial. Di ruang syari’at, poligami diberi pintu, disertai syarat keadilan yang berat. Namun di ruang sosial, perempuan yang menjadi istri kedua seringkali berdiri sendirian di tengah sorotan yang tak ramah.
Ketika Pilihan Hati Bertemu Realitas Sosial
Tidak ada perempuan yang tumbuh dengan cita-cita menjadi “istri kedua”. Kehidupanlah yang kerap menuntun ke arah yang tak pernah direncanakan: pertemuan yang tidak disengaja, cinta yang tak terduga, atau keadaan yang membawa seseorang pada keputusan sulit.
Namun begitu status “istri kedua” melekat, masyarakat sering menghapus sisi manusiawi dari proses itu. Yang dilihat hanya hasil akhirnya, bukan perjalanan yang penuh pertimbangan dan pergolakan batin.
Secara psikologis, banyak istri kedua harus menghadapi benturan emosional:• antara cinta dan rasa bersalah,
• antara bahagia karena dicintai dan sedih karena dirahasiakan,
• antara diterima oleh pasangan dan ditolak oleh lingkungan.
Mereka belajar tersenyum sambil memeluk luka yang tidak semua orang bersedia pahami.
Luka yang Tak Terucap
Stigma yang melekat pada istri kedua sering berasal dari asumsi bahwa ia “merebut suami orang”. Padahal, hubungan tidak pernah terjadi oleh satu pihak saja. Namun secara sosial, perempuanlah yang lebih banyak menjadi sasaran kesalahan. Ini membuat banyak istri kedua hidup dalam mode bertahan, menjelaskan, membuktikan, dan menguatkan diri agar tidak runtuh oleh penilaian.
Di sisi lain, istri pertama juga membawa luka yang sah. Ia merasa kehilangan kepastian, ruang, dan keutuhan yang pernah ia genggam. Pada titik ini, dua perempuan sering kali menjadi “korban keadaan”, sementara laki-laki yang memutuskan poligamilah yang justru memegang kendali.
Bila kejujuran dan adil tidak hadir, poligami berubah dari amanah menjadi sumber trauma.
Syari’at Memberi Ruang, tapi Kemanusiaan Menuntut Adab
Syari’at Islam tidak meletakkan poligami sebagai bentuk keistimewaan laki-laki, melainkan amanah berat yang berangkat dari tanggung jawab sosial dan kasih sayang. Namun realitas sering berjalan tanpa ruh keadilan itu.
Poligami yang sehat bukan sekadar sah secara agama, melainkan:• dijalankan dengan keterbukaan,
• tidak menyembunyikan atau membohongi,
• melindungi martabat semua pihak,
• menghadirkan keadilan emosional, bukan materi saja.
Poligami yang dilakukan dengan adab dapat mengurangi luka. Sebaliknya, poligami yang dijalankan diam-diam atau atas dorongan ego justru menciptakan trauma panjang, bagi istri pertama, istri kedua, anak-anak, hingga keluarga besar.
Di Tengah Label, Ada Hati yang Ingin Dipahami
Status istri kedua sering membuat perempuan harus “bersembunyi” dari dunia, menahan diri untuk tidak terlalu bahagia, agar tidak dianggap merayakan sesuatu yang melukai pihak lain. Ini membentuk pola psikologis yang melelahkan, mencintai seseorang sambil dihantui rasa bersalah.
Namun, mereka juga perempuan yang punya hati untuk dicintai, disayangi, dan dihargai. Mereka berhak merasa cukup tanpa harus terus membuktikan bahwa keberadaan mereka pun manusiawi.
Demikian pula istri pertama. Hak marahnya adalah normal. Rasa tersingkir adalah wajar. Ia juga butuh ruang untuk pulih, diterima, dan dihormati.
Pada akhirnya, kedua perempuan ini bukan musuh, mereka adalah dua hati yang terluka dalam cerita yang sama, namun sering dipaksa berperang oleh keadaan dan bisik stigma.
Mengubah Cara Masyarakat Memandang
Humanisme mengingatkan kita untuk melihat manusia sebelum statusnya. Sebelum memberi label “perusak rumah tangga” atau “perebut”, kita mungkin perlu bertanya:
Apakah kita tahu kisah lengkapnya?
Apakah kita pernah duduk sebentar untuk mendengar tanpa menghakimi?
Stigma hanya hilang jika kita menggantinya dengan empati.
• istri pertama terluka,
• istri kedua berjuang,
• suami memikul amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan.
Penutup: Manusia di Balik Status
Sebab pada akhirnya, di balik setiap pernikahan, baik monogami maupun poligami, ada dua kebutuhan paling dasar manusia:
ingin dicintai dan ingin dihargai.
Dan tak ada satu pun hati yang layak diremehkan hanya karena ia mengambil jalan hidup yang berbeda dari kebanyakan. (F)
