Mataram (Kilasntb.com) – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kejaksaan Tinggi NTB resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) penerapan pidana kerja sosial sebagai bagian dari implementasi KUHP baru yang berlaku mulai 1 Januari 2026.
Asep menegaskan, pidana kerja sosial bukan sekadar program tambahan dalam KUHP baru, melainkan instrumen pemidanaan yang harus dijalankan secara nyata.
“Pelaksanaan MoU dan PKS ini tidak boleh hanya bersifat seremonial. Instrumen ini harus benar-benar diterapkan sesuai undang-undang yang berlaku,” ujarnya.
Ia juga memberi peringatan tegas agar kebijakan tersebut tidak diselewengkan, terutama terkait potensi pungutan atau praktik tidak resmi.
“Pidana kerja sosial wajib diawasi oleh jaksa dan pembimbing dari pihak terkait. Dan yang paling penting, skema ini tidak boleh dikomersialkan,” kata Asep.
Menurut Asep, pidana kerja sosial menjadi terobosan penting dalam KUHP baru karena menekankan proporsionalitas hukuman dan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Skema ini memungkinkan pelaku menjalankan hukuman tanpa harus menjalani kurungan pendek, namun tetap memberikan manfaat bagi lingkungan sosial.
Dalam kesempatan itu, dilakukan pula penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara bupati/wali kota dengan para Kepala Kejaksaan Negeri se-NTB. Kegiatan tersebut turut disaksikan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, Jampidum, serta Kepala Kejaksaan Tinggi NTB.
Penerapan pidana kerja sosial akan mulai berjalan secara efektif pada 1 Januari 2026 bersamaan dengan diberlakukannya KUHP Nasional. Selain pemerintah dan kejaksaan, PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) ikut terlibat dalam mendukung skema restoratif yang berfokus pada pemulihan keadaan semula serta perlindungan bagi korban maupun pelaku.
Dengan kesepakatan ini, NTB tercatat sebagai salah satu provinsi yang paling siap menerapkan pidana kerja sosial secara akuntabel dan terukur. (Fd)

