![]() |
| Supni, honorer di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (foto/istimewa) |
Lombok Utara (Kilasntb.com) — Setelah 15 tahun bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat, Supni, 37 tahun, kembali mempertanyakan nasibnya.
Ia telah memenuhi seluruh persyaratan, tercatat dalam database Kementerian PAN-RB, dan bekerja penuh waktu, namun hingga kini Pemda KLU tak kunjung menetapkan statusnya sebagai PPPK Paruh Waktu.
“Apa mungkin karena saya tidak punya kekuatan politik? Dari sisi kinerja dan etos kerja, InsyaAllah saya bisa dipertanggungjawabkan.” ujar Supni.
Supni mengaku sudah bertahun-tahun menunggu kejelasan. Ia bahkan memastikan namanya masuk database nasional tenaga honorer, tetapi hingga kini KLU belum mengusulkan satu pun tenaga untuk formasi PPPK Paruh Waktu. Hal ini diperkuat rilis resmi BKN melalui akun Instagram mereka, yang mencatat Kabupaten Lombok Utara masih nihil dalam pengusulan PPPK Paruh Waktu.
Pemerintah Daerah Lempar Balik
Kepala BKD Lombok Utara, Moh Muldani, yang dikonfirmasi pada Jumat (21/11/2025), menyatakan pemerintah daerah tidak lagi bisa memproses nama di luar data honorer yang valid.
“Regulasi sekarang sudah jelas. Jika ada SK yang dikeluarkan di luar data 2025, kepala OPD yang mengeluarkan SK itu siap dikenai sanksi,” kata Muldani.
Namun ia juga mempertanyakan apakah berkas Supni dulu betul-betul lengkap.
“Persyaratannya sederhana: bekerja aktif, menandatangani daftar hadir, dan melengkapi berkas. Mungkin ada kelalaian dari yang bersangkutan,” ujarnya.
Pernyataan itu memantik kekecewaan Supni. Ia menegaskan seluruh berkas telah ia penuhi, dan selama 15 tahun ia berada di lokasi kerja tanpa jeda.
Senjang Data, Senjang Nasib
Kisah Supni mencerminkan problem laten, ketidakjelasan data honorer di berbagai daerah, yang kemudian berimbas pada nasib para tenaga yang telah bertahun-tahun bekerja.
Ketika pemerintah pusat telah membuat skema PPPK Paruh Waktu sebagai jalan transisi menuju ASN, daerah justru terkesan lamban merapikan data dan melakukan pengusulan.
“Transparansi dan kejujuran verifikasi adalah kunci,” kata seorang pengamat kebijakan publik yang dimintai pendapat. “Banyak honorer tersisih bukan karena tak memenuhi syarat, tapi karena carut-marut administrasi internal daerah.”
“Kalau 15 Tahun Tak Cukup, Apa Lagi?”
Supni hanya menginginkan satu hal, yakni kejelasan.
“Saya ingin pemda transparan. Kalau 15 tahun mengabdi saja tidak cukup, apa lagi yang dibutuhkan?” katanya.
Ia mengaku pasrah namun tetap berharap. “Jangan sampai yang bekerja sungguh-sungguh justru tertinggal, sementara yang punya dukungan politik melaju lebih cepat.”
Kasus Supni kini menjadi sorotan baru ketidakpastian nasib honorer di Lombok Utara. Sementara pemerintah pusat menargetkan penuntasan honorer, di tingkat daerah, kabut tebal verifikasi data masih terus menggantung. (Fd)
