![]() |
| Lingkar Studi Perempuan (LSP) Kota Mataram (dok.istimewa) |
Mataram (Kilasntb.com) — Simposium Perempuan yang digelar Lingkar Studi Perempuan (LSP) Kota Mataram pada Sabtu (6/12) berubah menjadi forum kritik tajam. Di mana kritik ini tertuju pada kuatnya budaya feodal patriarkal dan ketidakseriusan negara menangani kekerasan terhadap perempuan di Nusa Tenggara Barat.
Mahasiswi dari berbagai kampus Unram, UIN Mataram, UMMAT, UNU NTB, dan UNW menyebut, persoalan perempuan di daerah ini bukan lagi sebatas kasus individual, tetapi persoalan struktural yang menuntut perubahan sistemik.
Diskusi tematik di simposium ini menyoroti kekerasan seksual, kerentanan perempuan dalam konflik agraria, komersialisasi pendidikan yang menekan mahasiswi, hingga minimnya akses kesehatan reproduksi.
Data yang diangkat peserta memperlihatkan situasi genting, dimana Komnas Perempuan mencatat 976 kasus kekerasan seksual di NTB, angka yang mereka sebut sebagai cermin kegagalan negara dan lembaga pendidikan.
Koordinator LSP Kota Mataram, Anisatul Sakinah, menyampaikan kritik keras terhadap kondisi ini.
“Kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari struktur budaya feodal patriarkal, ketimpangan ekonomi, dan kebijakan yang belum berpihak pada perempuan. Karena itu gerakan perempuan harus terorganisir, bukan sporadis,” ujarnya.
Anisatul menilai, kampus yang seharusnya menjadi ruang aman masih membiarkan kekerasan terjadi tanpa mekanisme penanganan berbasis korban.
“Banyak kampus lebih sibuk menjaga citra daripada melindungi mahasiswinya. Ini yang kami lawan,” tegasnya.
Dalam forum tersebut, LSP Mataram merumuskan Program Perjuangan Perempuan sebagai panduan gerakan di tingkat kampus dan masyarakat. Program ini memuat agenda ekonomi, politik, dan kebudayaan yang berorientasi pada pembongkaran sistem penindasan.
Di bidang ekonomi, mereka menuntut kesempatan kerja setara, pemenuhan hak biologis perempuan seperti cuti haid dan hamil, perbaikan kondisi kerja buruh perempuan, pelaksanaan 8 jam kerja, reforma agraria sejati, hingga nasionalisasi industri yang dianggap dikuasai kepentingan kapitalis komprador.
Di ranah politik, LSP menyerukan perlawanan terhadap imperialisme, feodalisme, dan rezim komprador yang dianggap melanggengkan ketidakadilan. Mereka juga menuntut kebebasan perempuan untuk berkumpul, berekspresi, dan berorganisasi.
Sementara pada kebudayaan, LSP menegaskan perlunya melawan budaya feodal patriarkal serta machoisme liberal yang mengakar di masyarakat. Mereka mendorong pendidikan nasional yang demokratis dan ilmiah, serta menuntut penghapusan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Anisatul menutup dengan pernyataan bahwa perempuan harus mengambil posisi sebagai penggerak perubahan, bukan sekadar objek kebijakan.
“Selama perempuan hanya dijadikan simbol atau angka statistik, tidak akan ada perubahan. Perempuan harus menjadi subjek utama perjuangan sosial,” katanya.
Simposium ditutup dengan kesepakatan memperkuat konsolidasi lintas kampus dan komunitas, menyiapkan aksi bersama, dan memperluas jejaring gerakan perempuan NTB sebagai langkah menghadapi situasi yang mereka sebut sebagai “krisis sistemik terhadap perempuan.” (Fd)
