![]() |
| (Dok.Tim) |
Mataram (Kilasntb.com) — Hutan Gunung Tambora yang selama ini menjadi benteng ekologis Pulau Sumbawa kini berada di ambang krisis. Kawasan hutan lebat dengan sumber mata air alami itu rusak parah akibat penggusuran besar-besaran sejak beroperasinya PT Agro Wahana Bumi (AWB). Kerusakan paling masif terjadi di RTK 53 Desa Labuan Kenanga, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima.
Penggusuran itu bukan sekadar membuka lahan. Jejak alat berat, pembabatan vegetasi, hingga rusaknya daerah tangkapan air terlihat jelas di sejumlah titik. Wilayah yang semestinya menjadi penyangga kehidupan justru berubah menjadi hamparan tanah terbuka.
Ketua Presidium Institute Transparansi Kebijakan (ITK) NTB, Achmad Sahib, menilai investasi yang dibawa PT AWB justru menjadi pintu masuk perusakan hutan Tambora. Padahal, sejak awal kehadiran perusahaan itu diharapkan mampu mendorong ekonomi masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian alam.
“Hutan (Tambora, red) ini murni dibabat kerakusan oligarki,” ujar Sahib saat diwawancarai, Minggu (28/12/2025) malam.
Tambora merupakan bagian dari kawasan Geopark Tambora, wilayah yang menyimpan keanekaragaman hayati penting dan memiliki nilai geologis dunia. Namun, menurut ITK NTB, status strategis itu tak cukup kuat menahan laju perambahan.
ITK mencatat PT AWB hanya berbekal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) berdasarkan SK Kementerian Kehutanan dan Perkebunan Nomor 102/Menhut-II tertanggal 11 Februari 2013, yang kemudian diubah melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.521/MenLHK/Sekjen.HPL.0/9/2021.
Sahib bahkan menyebut PT AWB tidak memiliki kekuatan finansial yang memadai sejak awal.
“Perusahaan tidak punya modal sepeser pun. Izin itu digunakan untuk menguras hutan Tambora, tidak ada kontribusi untuk program penghijauan dan lain-lainnya,” katanya.
Dalam praktik di lapangan, ITK menilai aktivitas PT AWB jauh menyimpang dari izin yang dikantongi. Alih-alih melakukan pengelolaan hutan, perusahaan justru melakukan land clearing besar-besaran menggunakan alat berat, termasuk di kawasan hutan lindung dan area sumber mata air Tambora, khususnya di Desa Labuan Kenanga.
Data ITK menunjukkan penggusuran berlangsung di sepanjang aliran Sungai Sori Bura. Dampaknya, sumber mata air yang selama ini menopang kehidupan warga mengering. Ironisnya, banjir justru kerap terjadi saat musim hujan karena hutan penyangga air telah hilang.
Lebih jauh, ITK menemukan indikasi pelanggaran administratif serius. PT AWB disebut tidak memiliki Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan Hutan (RKTPH) sejak 2018 hingga 2021.
“Jadi programnya hanya sandiwara bohong, tidak ada rencana yang jelas,” tegas Sahib.
Persoalan ini, kata Sahib, telah dikoordinasikan dengan berbagai pihak, termasuk Gubernur Nusa Tenggara Barat. ITK NTB juga mengajak masyarakat Tambora dan Pulau Sumbawa untuk menyatukan sikap merebut kembali hutan yang tersisa.
“Ketika bertemu dua hari yang lalu, Gubernur NTB mendukung penuh langkah ITK NTB serta semua pihak untuk peduli dan menuntaskan persoalan Tambora. Gubernur siap melakukan pembenahan besar-besaran,” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, PT Agro Wahana Bumi belum memberikan tanggapan atas tudingan tersebut. Sementara hutan Tambora terus tergerus, publik menanti apakah negara hadir untuk menghentikan kerusakan, atau justru membiarkannya berlangsung atas nama investasi. (Tim)
