![]() |
| (Dok. Sofie) |
Cerpen Kilas, Kos-kosan kecil di jantung Kota Mataram itu sebenarnya nyaman dengan halamannya luas, pepohonan rimbun, angin sore selalu membawa wangi rumput basah. Kalau saja suara motor butut penghuni kamar ujung tidak menghilangkan suasana damai itu setiap sore, kos tersebut mungkin bisa masuk nominasi “Tempat Paling Tenang untuk Hidup dan Menyesali Dosa.”
Dari sembilan kamar yang berjajar, hanya empat ditempati.
Via, janda berkarier yang manis, tegas, dan tiap pulang kantor selalu terlihat seperti habis digiling mesin penguras tenaga, tinggal di kamar nomor dua.
Memey, wanita misterius yang melangkah seperti kabut dan bicara seperti rahasia negara, ada di kamar nomor empat.
Deden, mahasiswa lurus macam penggaris, tinggal di nomor satu. Hidupnya hanya skripsi, jurnal, dan dosa begadang.
Dan terakhir, pria 45 tahunan berwajah lelah hidup, bermotor knalpot-sekarat, yang kalau lewat suaranya seperti mengucapkan doa kematian.
Semuanya normal. Semuanya damai.
Sampai hari itu.
⸻
Serangan Mendadak Tukiman
Via baru pulang kerja, kering, letih, dan hampir berubah menjadi dendeng sapi. Ia membuka pintu lebar-lebar agar angin masuk dan mengasihani nasibnya. Baru saja ia rebahan di lantai, scrolling HP sambil menghadap pintu…
Ada bayangan berdiri.
“Mbak, boleh minta air?”
Via hampir melempar HP. Ini orang muncul tanpa suara, tanpa ketok, tanpa SOP pergaulan maupun SOP spiritual. Antara manusia dan jin iprit terpeset.
“Siapa ya?” tanya Via, bersiap menendang jika perlu.
“Saya Tukiman, mbak. Yang kamar ujung. Liat kulkas, kira ada air dingin… cuaca lagi panas mbak.”
Liat kulkas?
Ini tetangga kos atau auditor kulkas nasional?
Via hanya tersenyum terpaksa sambil menyodorkan air. Saat minum, Tukiman menoleh kiri-kanan, mengintip isi kamar Via, seperti sedang menilai apakah layout ruangan cocok untuk… sesuatu.
Selesai basa-basi, ia pamit sambil berkata,
“Kalau mau masak, masak aja di kamar saya.”
Masak.
Di kamar laki-laki asing.
Yang motornya saja hampir masuk ICU.
Tentu saja Via dalam hati menjerit “DASAR MODUS”
⸻
Tukiman Naik Level
Besoknya, Via pulang dalam keadaan jiwa 2% dan baterai HP 3%. Baru rebahan, baru mau menyerah ke kasur…
“Mbaaak… mbaaaak…”
Suaranya seperti malaikat pencabut nyawa yang teriak mesra.
Via buka pintu ... dan Tukiman sudah duduk di kursi balkon kamarnya. Sudah nemplok. Sudah siap cerita. Seolah kamar Via adalah ruang tunggu BPJS.
“Ada apa ya?” tanya Via, dengan tenang.
“Enggak, cuma mau ngobrol.”
Hanya.
Cuma.
Via dalam hati, “Tadi manggil aku kayak ada mayat di dapur, ternyata cuma mau ngerumpi??”
Tukiman mulai bercerita soal status duda, soal dua anak, soal pekerjaan misterius di “rona-rona pasar malam”, yang entah maksudnya jaga komidi putar atau jadi spesialis merapikan permen kapas.
Dan seperti tidak paham kode, ia bahkan mengajak,
“Ayo minum tuak.”
Via menarik napas panjang, lalu mengeluarkan kalimat yang lebih tajam dari tatapannya.
“Maaf, saya nggak minum sama laki-laki. Kalo laki dan perempuan minum bareng, larinya ke mana-mana.”
Skakmat.
Tamparan halus tapi mematikan.
Tukiman diam lima detik, mungkin sedang menghitung pahala hilang, lalu berkata,
“Ya udah mbak, saya solat magrib dulu ya.”
Ngajak minum... terus solat.
Konsep ibadah yang belum pernah diakui MUI.
⸻
Desahan yang Didengar Alam Semesta
Setelah kejadian itu, Via hidup dalam mode WASPADA 24/7.
Setiap pulang kerja, doa pertamanya semoga kasur masih hangat. Doa kedua, semoga Tukiman dalam mode jinak, bukan dalam mode predator sosial.
Tapi hidup kejam.
Siang itu Via video call dengan pacarnya yang berotot paripurna. Namanya hubungan LDR… kadang hanya suara yang bisa saling memeluk. Ada canda, ada rayuan, dan ada desahan brutal yang… yah… mungkin terlalu niat.
Via Lupa volume HP full termasuk volume suaranya.
Lupa dinding kos lebih tipis dari iman mantan.
Sampai...
TOK TOK TOK.
Via mengintip lewat korden jendela.
Deg.
Di kursi luar, duduk tegak, tersenyum tipis…
Tukiman.
Entah sudah berapa lama.
Entah sudah dengar apa.
Yang jelas, ia mendengar sesuatu.
Kipas angin tua pun ikut diam.
Via beku.
Pacarnya di layar berhenti bicara.
Waktu seperti masuk mode slow motion ala sinetron jam 7.
Tukiman menatap pintu Via sambil tersenyum tipis.
Senyuman yang bisa membuat genderuwo resign.
Via nyaris pingsan.
Jantung melorot ke dengkul.
Dalam hati ia hanya bisa menjerit,
“OH YA ALLAH… KENAPA YANG DENGER HARUS TUKIMAN???”
Dan di detik itu...
Hidup Via runtuh seperti tembok tua digoyang gempa 7,2 SR. Runtuh seperti harga diri yang tertangkap basah oleh duda rona-rona yang tidak diundang tapi selalu muncul. (S)
