Cinta Pertama Sang Hafiz, Doa yang Tak Pernah Tuntas

(Foto/Fd)

Cerpen Kilas
, Kadang cinta pertama tak benar-benar mati,,, ia cuma berubah jadi hantu yang mondar-mandir di lorong hidup, menatap kita sambil tertawa sinis. Itulah yang terjadi pada Fida dan Yudi, dua manusia yang dulu percaya bahwa kesalehan cukup untuk menutup semua retakan. Betapa polos. Betapa naif. Betapa lucu.

Yudi, sang hafiz 30 juz, ikon pesantren tahfiz di Lombok, datang dengan jubah kesalehan dan mimpi sebagai mahar. Fida menerima. Ia yang baru hijrah, baru memahami dunia barunya, merasa bahwa menikahi seorang hafiz adalah tiket menuju surga.

Ternyata surga bisa sangat gaduh.

Perkenalan mereka terjadi lewat proses taaruf yang terlalu cepat dan terlalu yakin. Yudi datang ke rumah Fida dengan jenggot rapi, celana cingkrang, langkah penuh percaya diri, dan Abdullah, sahabat karibnya di pondok yang kebetulan satu kampus dengan Fida.

Ibunya Fida menyambut dengan tatapan dingin, pertanyaan lebih tajam dari belati.

“Orang tuamu kerja apa?”

Pertanyaan itu menusuk seperti sindiran halus bertajuk ‘kamu pantas nggak buat anak saya?’. Yudi menjawab seadanya. Anak kampung. Orang tua kurang mampu. Pendidikan minimal. Sebuah CV yang jika dicetak, mungkin hanya butuh setengah halaman.

Ajaibnya, ibu Fida akhirnya luluh, entah karena doa, entah karena lelah. Pernikahan pun terjadi.

Dan sejak itu, kehidupan rumah tangga mereka seperti azan yang tak pernah selesai, keras, berulang, dan tidak selalu didengar.

Yudi egois. Keluarganya ikut campur. Keuangan tidak jujur. Fida lelah. Sangat lelah. Dan akhirnya menggugat cerai.

Dua tahun pernikahan, tapi rasanya seperti hukuman seumur hidup.

Setelah bercerai, Fida menghilang. Ia kuliah di luar negeri, menikah, punya anak, lalu bercerai lagi. Kadang semesta memberi jeda, tapi seringnya semesta cuma bercanda.

Sementara itu Yudi menikah lagi, namun tak memiliki keturunan. Dan di hatinya, ada satu ruang kosong berbentuk Fida yang tak bisa ditutup dengan ayat, obat, atau istri baru.

Suatu hari Yudi mendapat nomor kontak Fida dari seorang rekannya. Secepat kilat ia mengirim pesan,

“Maafkan kakak, dek… apa pun yang adek butuh, bilang.”

Bahasa yang tidak asing bagi Fida. Dan seperti angin yang baunya manis tapi asalnya dari got, Fida merasakan dendam lamanya menguap. Ia mulai memanfaatkan Yudi. Dengan halus. Dengan elegan. Dengan sarkasme yang dibungkus senyum.

Yudi kembali melamar.

“Dek… kakak izin sama mama ya. Kakak mau nikah sama adek lagi.”

Fida tersenyum miring, senyum yang dulu membuat Yudi jatuh cinta, dan sekarang jatuh ke jurang.

“Saya mau mahar rumah dan mobil atas nama saya. Kalau sanggup, ayo nikah.”

Ia tahu Yudi tidak akan sanggup. Itu intinya.

Komunikasi mereka seperti sumbu lilin, kadang menyala, kadang padam. Yudi menasihati Fida tentang fitnah dan dosa. Fida mendengarkan separuh, mengabaikan separuh. Dan sahabatnya, wanita bijak setengah sarkastik, pernah berkata,

“Allah bolak-balikkan hati itu biar matangnya merata.”

Kalimat yang lebih mirip roasting daripada nasihat spiritual.

Lalu pada suatu hari, entah digerakkan rindu atau karma, Fida membuka blokiran Yudi. Ia mengirim pesan,

“Kak, saya balik ke Lombok besok. Jemput ya.”

Dan Yudi, seperti biasa, setia seperti kesalahan berulang, menjawab:

“Iya adekku sayang… kakak jemput.”

_________

Pesawat IW 1879 mendarat. Fida keluar terminal dengan koper kecil. Sedan Civic silver berhenti di sampingnya.

Yudi keluar dari mobil.

Dan dunia Fida hancur seketika.

Ia melihat lelaki yang dulu ia tinggalkan. Yang ia manfaatkan. Yang ia sakiti.

Kini berdiri kurus, pucat, mata cekung, tubuh seperti tali yang hampir putus. Di leher belakangnya, benjolan bernanah sebesar kepalan tangan, dibalut perban yang sudah sedikit basah. Aroma obat bercampur luka memenuhi udara.

Fida menahan napas.

“Kakak kenapa…?” tanyanya lirih sambil mencium tangan mantan suaminya, tangan yang dulu ia elakkan.

Yudi tersenyum tipis, senyum yang bahkan tak punya tenaga untuk berbohong.

“Gula naik dik…”

Di dada Fida sesuatu pecah. Bukan cinta. Bukan rindu.

Lebih seperti tamparan telak bahwa karma tidak pernah lupa alamat.

Ia menatap Yudi lama.

Laki-laki yang pernah ia cintai.

Laki-laki yang pernah ia tinggalkan.

Laki-laki yang pernah ia manfaatkan.

Dan tiba-tiba, ia merasa seperti penjahat dalam drama yang ia tulis sendiri.

Dalam mobil yang melaju pelan meninggalkan bandara, Fida berkata dengan suara yang nyaris seperti bisikan,

“Kak… lucu ya. Kita dulu saling sayang. Tapi lihat sekarang… semuanya datang terlambat.”

Yudi tersenyum, pahit seperti obat diabetes.

“Yang terlambat itu bukan cinta, dek… cuma kita.”

Mobil terus melaju.

Dua manusia di dalamnya terjebak antara masa lalu yang menyakitkan dan masa kini yang lebih menyakitkan lagi.

Cinta pertama sang hafiz—

cinta yang tidak pernah berhasil,

tapi juga tidak pernah benar-benar mati.

Ia hanya berubah:

menjadi doa yang tak pernah tuntas,

dan luka yang terlalu sopan untuk sembuh. (Fd)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama