![]() |
| (Foto/Sofie M) |
Cerpen Kilas, Vivi, perempuan usia 42 tahun, matang yang terlalu sering patah hingga tak percaya lagi pada kata cinta, akhirnya memberanikan hati membuka aplikasi Tinder. Untuk apa? Bukan semata mencari jodoh. Ia hanya ingin membuktikan bahwa semesta belum sepenuhnya menutup pintu.
Di sanalah Bambang muncul, pria 37 tahun, dari aplikasi terlihat berada 100 km jauhnya, katanya di Bali. Ramah, tampan, dan… katanya duda. Pemilik usaha travel, wangi kata-kata manis, dan lihai merangkai kalimat sapaan ala “motivasi pagi”...jenis pesan yang bikin perempuan luluh padahal isinya seharga stiker gratisan.
“Met pagi… jangan lupa sarapan ya. Semangat aktivitas hari ini.”
Begitu setiap hari. Konsisten. Rajin. Penuh perhatian atau pura-pura perhatian? Vivi tak langsung membalas. Trauma membuatnya dingin. Kadang pesan itu ia biarkan beku berjam-jam, kadang ia balas seperlunya. Namun, diam-diam, hati yang selama ini gersang itu seperti menerima setetes embun.
Sampai suatu malam, saat pikirannya kusut dan mabuk kecewa pada hidup, Vivi menekan tombol video call. Bambang mengangkat. Dan dari bibir layar, lelaki itu menembakkan kalimat yang membuat banyak perempuan tumbang:
“Aku sayang kamu, Viv.”
Cepat. Terkesan murahan. Tapi buat perempuan yang lama tak disentuh kelembutan kata-kata lelaki, kalimat itu seperti simfoni.
Dalam benak Vivi sekelebat muncul suara sinis:
“Cepet amat, jangan-jangan buaya.”
Namun sensasi bahagia menggeser logikanya.
Sudahlah… sekali ini saja aku ingin merasa dicintai, batinnya lirih.
Dua bulan kemudian, mereka sepakat bertemu. Bambang menyebrang pulau hanya untuk Vivi, lengkap dengan bunga dan cokelat di lobi sebuah hotel. Terlalu manis, bahkan untuk sinetron.
Vivi terharu. Seumur hidup, baru kali ini ada pria yang memperlakukannya seperti adegan film tahun 2000-an yang sering ia anggap basi.
Lima bulan setelahnya, romansa mereka kian menjadi. Gantian, Bambang ke kota Vivi, Vivi ke kota Bambang. Kintamani menjadi saksi betapa dua siluet di bawah dinginnya udara dan Gunung Batur itu tampak seperti sepasang manusia yang ditakdirkan bersatu.
Di titik itu, Bambang berani bicara masa depan. Bicara komitmen. Bicara menikah.
Vivi luluh. Ia memperkenalkan Bambang pada keluarga. Semua terlihat mulus... kecuali adik laki-lakinya, Rahman, yang hanya butuh lima menit menatap Bambang sebelum menghembuskan kalimat yang terasa seperti kutukan.
“Selidiki dulu, Mbok. Cowo ini banyak bohongnya.”
Vivi sakit hati. Tapi mencintai kadang membuat orang bodoh dengan elegan.
Suatu hari, Bambang bilang ia harus pulang ke Jawa, menjenguk anaknya yang baru lulus SMP. Alasan yang sangat… Netflix, drama keluarga, menyentuh, penuh kesan ayah penyayang.
Vivi percaya. Sampai malam, saat telepon dan video call tak kunjung diangkat. Ia hanya dapat balasan chat singkat. Banyak alasan. Banyak alibi. Banyak silat lidah.
Kecurigaan menyembul, namun cinta menyumpal logika.
Sahabatnya, Gita, pernah menegur.
“Nek, kamu itu terlalu gampang percaya. Cek dulu, jangan ditelan mentah.”
Kali ini Vivi tak lagi ingin menjadi korban kata “berpikiran positif”.
Ia mulai memeriksa, pelan tapi pasti. Pintu neraka terbuka dari fitur paling sepele di WhatsApp: Privasi Foto Profil.
Foto mesra mereka dijadikan foto profil oleh Bambang. Bagus dong?
Tidak... karena dikecualikan untuk 99 kontak.
Artinya hanya Vivi yang bisa melihat.
Hati Vivi mencelos. Tapi ia butuh bukti yang lebih telak.
Ia mengambil ponsel kedua Bambang, yang selama ini katanya dipakai bisnis. Vivi unggah foto mesra mereka di Kintamani ke status WhatsApp.
Tiga puluh detik.
Dering telepon berdatangan.
Nama-nama kontak berlabel “Istri”, “Mama”, “Mbak Besan”, “Keluarga Besar” bermunculan.
Sekejap, drama travel berubah menjadi travel ke neraka.
Bambang kalang kabut, masih pandai bersandiwara, seolah aktor FTV gagal audisi tapi tetap percaya diri.
Vivi yang selama ini lembut tiba-tiba dirasuki kekuatan entah dari mana. Satu bogem mendarat di bibir Bambang.
Buggg!
Setetes darah jatuh. Kepalsuan pun ikut tumpah.
“Kalau kamu benar sudah cerai, telpon istrimu sekarang. Kita bicara bertiga!”
Bambang menolak.
“Kalau kamu masih menghargai aku, jangan hubungi dia.”
Vivi tersenyum miring.
“Menghargai kamu? Lucu juga kamu.”
Bambang pergi meninggalkan Vivi di tepi kolam renang hotel. Air mata Vivi jatuh... entah karena marah, kecewa, atau karena ia merasa dipermalukan oleh perasaannya sendiri.
Setelah kepergian lelaki itu, Vivi menghubungi nomor sang istri.
Ia kirim foto Kintamani, foto yang sama yang dulu membuatnya bahagia.
Pesan balasan datang.
“Kami masih menikah. LDR. Mungkin dia lagi lemah iman.”
“Lemah iman?” Vivi tertawa getir.
Kali ini bukan sinis, lebih seperti tawa seseorang yang baru sadar telah memeluk ular berbulu domba.
Dalam hati ia memaki.
“Keparat. Semoga anak perempuanmu kelak tidak diperlakukan lelaki sepertimu.”
Di sudut hatinya yang hancur, Vivi belajar satu hal:
Cinta datang dari banyak bentuk... kadang manis, kadang seperti racun dilapisi madu. Lelaki seperti Bambang bukan buaya. Buaya masih punya naluri melindungi pasangannya.
Bambang?
Ia hanyalah kadal kering, licin, dan pandai menipu dengan mata berkedip lugu.
Dan Kintamani?
Akan selalu menjadi saksi bahwa kadang, cinta paling indah justru berakhir paling tragis. (F)
