Skandal “Ngopi Sayang”

(Doc. Sofie M)

Cerpen Kilas
, “Pagi Vien, Jangan Lupa Ngopi

Sapaan itu awalnya terasa biasa.

Sesederhana embun di ujung daun, sering muncul, cepat menguap. Namun entah sejak kapan, bagi Vienna, atau akrab dipanggil Vien, kalimat itu berubah menjadi mantra pagi. Sebuah doping perasaan yang membuat hari-harinya terasa lebih hidup.

Perkenalan mereka terjadi di sebuah Rakernas, ruang dingin penuh jargon, ambisi, dan kopi sachet gratis. Lia, sahabat karib Vien saat kuliah di Kampus Merah, yang mempertemukannya dengan pria itu. Seorang senior berusia sekitar lima puluh tahunan, kritis, vokal, energik, lengkap dengan pesona abang-abangan yang seakan tahu segalanya soal hidup dan dunia kerja.

Bang Totok.

Nama yang terdengar seperti karakter utama di sinetron abang bijak, padahal… ya sudahlah.

Mulanya Vien biasa saja. Tapi siapa sangka, perhatian rutin, sapaan manis, dan coaching ala abang mentor idaman itu pelan-pelan menembus pertahanan seorang perempuan yang supel, tangguh, dan terlalu menghargai atensi. Vien merasa dihargai, dianggap, dan dipahami.

Lalu tanpa ia sadari,,, ia kejebak.

Bukan cinta, mungkin…

Lebih tepat, ketagihan perhatian.

Hingga pada suatu hari, Bang Totok mengirim pesan yang membuat Vien hampir tersedak kopinya.

Vien… Abang serius sama kamu. Abang ingin kamu jadi istri kedua Abang.”

Mata Vienna seketika waras kembali. Otaknya spontan reboot.

Istri kedua? Sudah sah-sah banget Abang menurunkan standar komunikasi sehat jadi syariat poligami instan?

Namun sebagai perempuan berkelas yang masih punya sedikit logika, ia hanya membalas:

Kalau Abang serius, silakan temui orang tua saya.”

Jawaban yang terdengar anggun. Padahal maksud tersiratnya: “Jangan cuma modal kalimat dan napas, Bang.”

Cinta mereka pun mekar ala long distance. 

Padang – Lombok.

Saling sapa, saling rindu, saling sayang—minus komitmen nyata.

Sesekali mereka bertemu di Jakarta dalam acara Rakernas berikutnya. Ya, konon urusan organisasi adalah alasan paling aman untuk menyamarkan urusan perasaan.

Suatu hari, pesan DM Instagram masuk dari akun seorang perempuan bernama Muna.

Hai Fien… add IG aku ya. Gak usah di-private amat tuh akunnya.. ketauan banget banyak haters-nya. Gimana kabar Abangnya? Kamu masih disapa tiap pagi ‘ngopi sayang’? Sabar ya sayang… laki-laki memang begitu. Dajjal semua bentuknya 😁”

Nada pesan yang manis seperti racun tikus rasa stroberi.

Langsung to the point, dan mengandung vitamin sarkas dalam dosis berbahaya.

Vien hanya membaca. Tidak membalas.

Karena bagi Vien, tak semua sampah layak didaur ulang menjadi percakapan.

Ia menanyakan hal itu pada Bang Totok.

Abang ada hubungan ya sama Mbak Muna?”

Dan seperti skrip klasik lelaki yang masih merasa berhak atas reputasi alimnya, Bang Totok menjawab:

Gak ada, dia aja yang kege’eran.

Oh tentu.

Sama sekali tidak template ya, Bang.

Pagi-pagi berikutnya, sapaan “Sayang, jangan lupa ngopi” masih ia terima. Vien masih meleleh seperti mentega di atas roti panas.

Namun drama tak pernah lupa menagih jatah layar.

Sore itu pesan masuk ke nomor pribadinya:

Vienna, jangan hubungi Abang dulu ya. Hubungan kita ketahuan istri Abang. WhatsApp Abang di-hack sama dia.”

Kalimat yang begitu familiar di kalangan para laki-laki yang ketahuan selingkuh tapi masih sok korban.

Langit seakan ikut menertawakan.

Vien seperti disambar geledek, bukan karena terkejut, tapi karena betapa murahnya alibi itu untuk seseorang yang sebelumnya tampak begitu intelektual.

Sejak itu, pagi-pagi Vienna sunyi.

Tak ada sapaan.

Tak ada motivasi ala senior bijak.

Tak ada “ngopi sayang” yang kini terdengar seperti merek racun perasaan.

Hari-harinya seperti roti tanpa selai: hambar, membosankan, dan membuat ia mempertanyakan pilihan hidup.

Rasa penasaran menuntut penuntasan.

Vien menghubungi Yanti, seorang rekan di Padang.

Mbak, tahu istri Bang Totok? Dia jago IT, hacker, atau macam apa?”

Jawaban Yanti membuat Vien terdiam lama.

Istrinya? Ibu rumah tangga biasa, kalem. Kalau HP lemot aja dia panik. Hack WhatsApp? Yang bener aja, Vien.”

Saat itu, kepingan puzzle yang sempat berantakan mulai tersusun rapi.

Siapa pelaku sebenarnya?

Tentu saja, Muna.

Perempuan yang entah sedang patah hati, balas dendam, atau sekadar tak tahan melihat ada perempuan lain menerima slogan “ngopi sayang” yang dulu mungkin pernah jadi miliknya.

Ternyata Bang Totok bukan hanya menebar pesona pada Vien.

Muna adalah episode lama, mungkin masih berseri. Sinetronnya diperpanjang tanpa restu pemirsa.

Vien tertawa lirih.

Bukan karena lucu.

Tapi karena kisah romansa yang ia anggap spesial ternyata hanya franchise murahan yang sudah banyak cabangnya.

Hari itu, Vienna membuat secangkir kopi.

Tanpa pesan, tanpa sapaan.

Ia menyeruputnya pelan dan bergumam pada dirinya sendiri.

“Pagi, Vien. Jangan lupa ngopi. Tapi kali ini, tanpa kebohongan laki-laki yang hobi berlagak malaikat.”

Dan untuk pertama kalinya,

kopi itu terasa murni.

Tanpa gula ilusi.

Tanpa krimer perhatian palsu.

Tanpa aftertaste penyesalan.

Vien akhirnya belajar, beberapa orang tidak layak dikenang sebagai cinta.

Cukup dijadikan bahan tulisan dan ditertawakan nanti. (F)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama