![]() |
| (Dok. Ilustrasi) |
Sahabat Kilas, Ada bentuk kesabaran yang tak pernah berdiri di panggung utama. Ia tidak dipublikasikan, tidak dirayakan, bahkan sering kali tidak diakui. Kesabaran itu hidup dalam diam, tumbuh dalam sunyi, dan dipeluk oleh hati yang memilih bertahan tanpa banyak suara. Di sanalah sering kali istri kedua berada.
Dalam kacamata Psikolog Klinis Indrawan Damai N, S.Psi, Cht menjelaskan, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk diakui, dimiliki, dan merasa aman secara emosional. "Istri kedua, pada banyak kasus, harus merelakan sebagian dari kebutuhan itu," ujarnya.
Ia mencintai seseorang yang tidak sepenuhnya bisa ia panggil “milikku”. Ada waktu yang harus dibagi, perhatian yang tidak utuh, dan status yang kerap disembunyikan dari ruang publik. Bukan karena ia salah, melainkan karena realitas sosial belum sepenuhnya ramah pada keberadaannya.
Kesabaran istri kedua bukan sekadar menunggu. Ia adalah proses panjang mengelola emosi dengan menekan rasa cemburu, berdamai dengan perbandingan, dan belajar memahami bahwa cintanya berjalan di jalur yang tidak biasa. Dalam psikologi emosi, kata Indrawan, ini disebut emotional regulation, yakni kemampuan mengendalikan perasaan agar tidak meluap menjadi luka yang merusak diri sendiri. Namun kemampuan ini tidak lahir tanpa harga. Ada lelah yang dipendam, ada tangis yang ditelan malam.
Ketika ia tidak bisa mempublikasikan kebahagiaannya, ia belajar memvalidasi dirinya sendiri. Tidak ada unggahan foto berdua, tidak ada perayaan terbuka, tidak ada pengakuan sosial yang sering kali menjadi penopang harga diri. Di titik ini, istri kedua bertumpu pada inner strength, yakni kekuatan batin yang membuat seseorang tetap tegak meski tanpa tepuk tangan. Ia belajar mencukupkan diri, meski hatinya tahu bahwa cinta sejatinya ingin diakui, bukan disembunyikan.
Kesabaran itu juga sering disalahpahami. Banyak yang mengira ia kuat karena tidak cemburu, padahal yang terjadi adalah ia memilih diam agar tidak kehilangan.
"Dalam psikologi relasi, ini kerap disebut sebagai adaptive coping, dimana mekanisme bertahan agar hubungan tetap berjalan," katanya.
Bukan berarti ia tidak terluka, melainkan ia menempatkan lukanya di ruang paling dalam agar tidak mengganggu keseimbangan yang rapuh.
Menjadi istri kedua berarti berbesar hati menerima bahwa hidup tidak selalu adil, dan cinta tidak selalu datang dalam bentuk sempurna. Ia mencintai dengan sadar, meski tahu risikonya. Ia bertahan bukan karena tidak punya pilihan, tetapi karena memilih pilihan yang sering kali tidak dipahami oleh orang lain.
Kesabaran istri kedua adalah kesabaran yang luas, karena ia harus memeluk banyak hal sekaligus, cinta, kecewa, harap, dan keterbatasan. Ia mungkin tidak terlihat di depan, tetapi jiwanya bekerja keras setiap hari untuk tetap utuh. Dan di balik diamnya, ada keberanian besar, yaitu mencintai tanpa memiliki sepenuhnya, dan tetap menjaga hatinya agar tidak kehilangan diri sendiri.
Pada akhirnya, kesabaran ini bukan tentang siapa yang lebih utama, melainkan tentang manusia yang berjuang memahami takdirnya. Istri kedua mengajarkan satu hal penting dari sisi psikologi manusia, bahwa kekuatan sejati sering kali lahir dari ruang yang tidak terlihat, dan kesabaran terdalam justru tumbuh dari cinta yang tidak pernah benar-benar bebas. (Fd)
