Pinjam Barang, Kapan Baliknya?

(Ilustrasi)

Kilas NTB
, Ada satu pertanyaan sederhana yang sering terucap di dalam hati, tapi jarang berani diucapkan dengan suara lantang, “Barangku yang dipinjam itu… kapan baliknya?”.

Pertanyaan ini terdengar sepele, namun diam-diam menjadi sumber kegelisahan banyak orang, meretakkan pertemanan, bahkan menimbulkan rasa tidak enak yang berkepanjangan.

Meminjam dan meminjamkan barang adalah bagian dari kehidupan sosial. Dari charger ponsel, buku, helm, hingga peralatan rumah tangga, semua pernah berpindah tangan dengan kalimat pamungkas, “Nanti aku balikin, ya.” Sayangnya, kata “nanti” sering kali menjadi lubang waktu yang tidak jelas ujungnya.

Antara Tolong-menolong dan Lupa Tanggung Jawab

Pada dasarnya, meminjam barang adalah bentuk kepercayaan. Ketika seseorang meminjamkan, ia tidak hanya menyerahkan barang, tetapi juga rasa percaya bahwa barang itu akan dijaga dan dikembalikan. Masalah muncul ketika si peminjam terlalu nyaman hingga lupa bahwa barang tersebut bukan miliknya.

Ada yang lupa karena sibuk, ada yang menunda karena merasa belum ditagih, ada pula yang diam-diam berharap barang itu “dianggap hilang”. Di sisi lain, pemilik barang sering kali memilih diam demi menjaga hubungan, meski hatinya terus bertanya-tanya.

Kenapa Sulit Menagih Barang Sendiri?

Menagih barang yang dipinjam terasa canggung. Takut dibilang pelit, takut merusak pertemanan, atau takut dianggap tidak ikhlas. Padahal, menagih bukan berarti tidak tulus membantu. Itu adalah hak yang wajar.

Ironisnya, si pemilik barang sering kali merasa lebih bersalah daripada si peminjam. Ini bukan soal materi semata, melainkan soal posisi sosial: siapa yang enak meminta, siapa yang tidak enak menolak.

Etika Meminjam, Bukan Sekadar Boleh atau Tidak

Meminjam barang punya etika yang sering diabaikan. Pertama, ingat bahwa barang itu bukan milik sendiri. Kedua, rawat seperti barang sendiri, bahkan lebih baik. Ketiga, kembalikan tepat waktu atau lebih cepat. Jika belum bisa, sampaikan dengan jujur.

Kalimat sederhana seperti “Maaf, aku masih butuh dua hari lagi” jauh lebih terhormat daripada menghilang tanpa kabar. Komunikasi kecil bisa mencegah kesalahpahaman besar.

Belajar Berkata “Tidak” dengan Sopan

Di sisi lain, meminjamkan barang juga perlu batas. Tidak semua permintaan harus disetujui. Berkata “tidak” bukan berarti egois. Kita berhak menjaga barang sendiri, apalagi jika barang itu sering digunakan atau memiliki nilai penting.

Menolak dengan sopan justru lebih sehat daripada meminjamkan dengan terpaksa lalu memendam kesal.

Hubungan Baik Dijaga dari Hal Kecil

Banyak hubungan renggang bukan karena konflik besar, melainkan karena hal-hal kecil yang dibiarkan berlarut-larut. Barang yang tidak kembali, janji yang digantung, dan rasa tidak enak yang dipelihara diam-diam.

Meminjam dan meminjamkan seharusnya mempererat hubungan, bukan menjadi sumber kecurigaan. Kuncinya ada pada kesadaran, tanggung jawab, dan komunikasi.

Pada akhirnya, pertanyaan “Pinjam barang, kapan baliknya?” bukan hanya soal barang. Ia adalah pengingat tentang kejujuran, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap orang lain. Barang mungkin bisa diganti, tapi kepercayaan yang rusak tidak selalu mudah dipulihkan.

Maka, jika meminjam, ingat untuk mengembalikan. Jika meminjamkan, berani menetapkan batas. Karena dalam kehidupan sosial, hal-hal kecil sering kali menentukan besarnya rasa saling percaya. (Fd)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama