Gelang

Gelang
(Gambar/Sofie M)

Cerpen Kilas, Mira, 40 tahun, tak pernah menyangka akan merasakan detak kehidupan lagi di rahimnya. Empat anak, dua perceraian, dan kini, suami ketiga yang 10 tahun lebih muda darinya Adit. Sebuah keajaiban, begitu orang-orang menyebut kehamilannya. Terutama karena selama tiga tahun menikah, ia tak kunjung mengandung.

Namun, keajaiban itu berbau ganjil sejak awal.

Dulu, Mira punya sahabat dekat bernama Dinda. Mereka seperti saudara hingga satu malam, gelang pusaka milik Dinda hilang dari laci rumahnya selepas Mira dan Adit berkunjung. Gelang emas tua dengan ukiran aksara Jawa yang konon diwariskan turun-temurun, dan tak boleh sembarang disentuh.

Dinda menuduh, Mira membela diri, Adit terdiam.

“Siapa pun yang mengambil gelang itu… aku sumpahi keturunannya akan direnggut. Bukan oleh tangan manusia. Tapi oleh mereka yang lapar akan garis darah.”

Mira menangis, tersinggung, lalu memutuskan persahabatan itu. Ia tak pernah percaya Adit yang mengambilnya. Setidaknya… sampai sekarang.

Kehamilan Mira berjalan aneh.

Malam-malam pertama, ia sering terbangun karena merasakan sesuatu merayap di perutnya, bukan seperti gerakan bayi, tapi seperti jari-jari dingin membelai dari dalam. Dari sudut kamar, terdengar gelegak tawa kecil, seperti suara anak… atau bukan anak.

Adit semakin gelisah. Ia mengurung diri, merokok di balkon, mata cekung seperti dihantui.

Suatu malam, Mira mendapati suaminya memuntahkan sesuatu di wastafel, segumpal rambut halus dengan serpihan emas kecil di dalamnya.

“Adit…” suara Mira bergetar. “Kau sembunyikan sesuatu dariku?”

Adit menggigil. “Aku… aku cuma pinjam waktu itu. Gelang Dinda. Aku butuh uang. Aku… aku jual.”

Mira tertegun. Udara seperti membeku dan lampu kamar mandi berkedip.

“Gelang itu buat syarat,” lanjut Adit lirih. “Dinda pakai penjaga… makhluk itu menagih… tumbal pertama dari garis keturunanku.”

Mira memegang perutnya kuat-kuat. “Anak kita…”

Adit menunduk, menangis. “Aku pikir tidak akan ada. Kita kan tak pernah berhasil…”

Malam ke-7 bulan ketujuh kehamilannya, rumah tiba-tiba dipenuhi aroma bunga kamboja dan tanah basah. Di ruang tengah, lilin menyala tanpa ada yang menyalakan. Jendela terbuka, gorden berkibar walau udara sedang mati.

Mira merasakan kontraksi kuat, padahal belum waktunya.

Suara bocah, atau lebih dari satu, berbisik di telinganya:

“Kami datang… untuk mengambil.”

Adit berusaha menggendong Mira, tapi tangannya seperti menembus tubuhnya sendiri, seolah Mira bukan lagi sepenuhnya berada di dunia nyata. Perut Mira bergoyang keras dari dalam, seperti ada yang menarik-narik janinnya.

Dari sudut ruangan, muncul sosok perempuan dengan wajah pucat, mata hitam legam, rambut panjang menutupi setengah wajah. Tangan kirinya memakai gelang itu, gelang Dinda.

Tapi wajah itu bukan Dinda. Perempuan itu membuka mulutnya lebar-lebar, lebih lebar dari mulut manusia.

“Aku penjaga. Hutang harus dibayar.”

Adit berlutut, memohon. “Ambil aku saja! Jangan anakku!”

Penjaga itu tersenyum menyeringai.

“Keturunanmu sudah jadi bagian perjanjian. Dan kau… akan menyusul, ketika giliranmu tiba.”

Ia menunduk ke perut Mira.

“Sudah waktunya pulang.”

Jerit Mira mengguncang rumah.

Keesokan harinya, tetangga menemukan Adit terduduk di pojok ruang tamu, tatapan kosong, rambut memutih dalam semalam. Mira tergeletak di lantai, pucat, tetapi hidup. Hanya saja… kandungannya hilang. Bukan keguguran. Tidak ada darah. Tidak ada bayi. Hanya keheningan yang tidak wajar.

Mira tak pernah bisa lagi mengandung.

Dan setiap malam, ia mendengar suara gelang beradu pelan di samping ranjangnya, diiringi bisikan halus anak-anak kecil yang belum pernah lahir.

“Ibu….”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama